Membuat Karangan
Tentang Peran Pelajaran Sejarah Dalam Proses Integrasi Nusantara
Integrasi
suatu bangsa adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yang
ampuh dan segala persoalan yang timbul dapat dihadapi bersama-sama. Negara
kesatuan republik indonesia adalah wujud konkret dari proses integrasi bangsa.
Proses integrasi bangsa indonesia ini ternyata dimulai sejak awal tarikh
masehi. Pada abad ke-16 proses integrasi bangsa indonesia mulai menonjol. Masa
itu adalah masa-masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam di
indonesia.
Menurut Hendropuspito OC dalam
bukunya “Sosiologi Sistematik” istilah integrasi berasal dari kata latin
integrare yang berarti memberikan tempat dalam suatu keseluruhan. Dari kata
tersebut menurunkan kata integritas yang berarti keutuhan atau kebulatan dan
integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat
dan utuh. Secara umum integrasi diartikan sebagai pernyataan secara terencana
dari bagian-bagian yang berbeda menjadi satu kesatuan yang serasi. Kata
integrasi berkaitan erat dengan terbentuknya suatu bangsa, karena suatu bangsa
terdiri dari berbagai unsur seperti suku/etnis, ras, tradisi, kepercayaan dan
sebagainya,yang beranekaragam. Untuk itu integrasi suatu bangsa terjadi karena
adanya perpaduan dari berbagai unsur tersebut, sehingga terwujud kesatuan
wilayah, kesatuan politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang membentuk
jatidiri bangsa tersebut. Integrasi bangsa tidak terjadi begitu saja, tetapi
memerlukan suatu proses perjalanan waktu yang panjang yang harus diawali adanya
kebersamaan dalam kehidupan. Kebersamaan tersebut memiliki arti yang luas yaitu
kebersamaan hidup, kebersamaan pola pikir, kebersamaan tujuan dan kebersamaan
kepentingan.
Dengan demikian
integrasi suatu bangsa dilandasi oleh cita-cita dan tujuan yang sama, adanya
saling pendekatan dan kesadaran untuk bertoleransi dan saling menghormati.
Demikian pula untuk integrasi bangsa Indonesia. Mengingat Indonesia sebagai
bangsa yang majemuk dan memiliki keanekaragaman budaya. Maka sangat memerlukan
proses integrasi, karena dampak dari kemajemukan ini sangat potensial
terjadinya konflik/ pertentangan. Kecenderungan terjadinya konflik di Indonesia
sangatlah besar, untuk itu hendaknya setiap warga masyarakat di Indonesia harus
menyadari dan mempunyai cita-cita bersama sebagai bangsa Indonesia. Cita-cita
bersama sebagai bangsa Indonesia adalah sederhana tetapi agung yaitu suatu
masyarakat dimana semua golongan dapat hidup rukun. Mengembangkan diri tanpa
merugikan golongan lain dan bahkan membantu mendukung golongan-golongan lain,
sehingga terwujud suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Integrasi NusantaraBaru pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh penting di daerah yang lain, dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal, karena telah diperekatkan oleh ajaran suci Al-Qur’an bahwa “sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”.
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Kesultanan Demak. Di zaman Sultan Trenggono, datanglah seorang ulama dan ahli perang dari Aceh. Itulah Fatahillah, yang diangkat menjadi panglima perang Demak, menggempur armada Portugis di Sunda Kalapa, lalu mendirikan kota Jakarta. Ini baru satu contoh bahwa benih-benih persatuan bangsa telah ditanamkan Islam sejak abad ke-16! Tidak usah heran jika Ki Geding Suro, bangsawan Demak yang pergi ke Palembang, diterima dan diangkat menjadi raja pertama dari Kesultanan Palembang.
Pati Unus (sebutan Portugis untuk Adipati Yunus) dari Demak mengirimkan angkatan lautnya untuk mengusir Portugis yang telah menaklukkan Malaka. Sayang sekali balabantuan itu gagal karena kedudukan Portugis sudah terlalu kuat. Sekalipun demikian, pengharapan akan bantuan dari saudara-saudaranya di Jawa tetaplah tinggal dalam jiwa anak Melayu, sehingga timbul dari bibir mereka sebuah pantun: Jika jatuh kota Melaka, mari di Jawa kita dirikan, jika sungguh bagai dikata, badan dan nyawa saya serahkan. Pantun ini telah beratus tahun menjadi dendang anak Melayu sampai sekarang.
Ketika pengaruh Belanda masuk di Kerajaan Mataram, memberontaklah Trunojoyo, pahlawan dari Madura, terhadap Sunan Amangkurat I. Datang Karaeng Galesong dari Makassar menggabungkan diri dengan Trunojoyo untuk melawan Belanda. Tidak dikaji lagi apakah dia orang Madura atau Makassar, karena mereka telah diikat oleh akidah yang sama. Meskipun bahasa Madura lain dengan bahasa Makassar, mereka bertemu dalam bahasa Melayu yang telah berkembang pada saat itu sebagai bahasa persatuan di Nusantara.
Syekh Yusuf Tajul-Khalwati ulama Makassar mengembara ke Banten, diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa menjadi mufti kesultanan, dan bersama-sama berjuang melawan Belanda. Si Untung diberi gelar Surapati oleh Sultan Cirebon dan diberi gelar Wironegoro oleh Sultan Mataram, padahal dia asalnya budak dari Bali, tetapi karena dia telah Islam dan berjuang melawan Belanda, dia diterima menjadi bangsawan Jawa.
Tatkala usai Perang Diponegoro di Jawa, Belanda mengirim Sentot Ali Basyah ke Minangkabau untuk memerangi kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Sesampainya di Minangkabau Sentot segera berbalik arah dan bersekutu dengan kaum Paderi, demi dilihatnya yang dihadapinya adalah saudara-saudaranya seagama.
Pada zaman sebelum Islam pembauran antar suku di Nusantara belum pernah terjadi, sebab belum ada rasa persaudaraan antar suku. Itulah sebabnya mengapa di Bandung ada Jalan Diponegoro dan Jalan Sultan Agung, tapi tidak kita jumpai Jalan Gajah Mada!
Berabad-abad sebelum lahir faham nasionalisme, jiwa dan rasa satu bangsa pertama kali ditanamkan oleh Islam! Perhatikan saja nama ulama-ulama termasyhur kita zaman dahulu: Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri (Pansur), Syaikh Abdussamad al-Jawi al-Falimbani (Palembang), Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten), Syaikh Arsyad al-Jawi al-Banjari (Banjar), Syaikh Syamsuddin al-Jawi as-Sumbawi (Sumbawa), Syaikh Yusuf al-Jawi al-Maqashshari (Makassar), dan lain-lain. Semua mengaku Jawi (‘bangsa Jawa’), dari suku mana pun dia berasal.
Berabad-abad sebelum istilah ‘Indonesia’ diciptakan oleh ahli geografi James Richardson Logan tahun 1850, nenek moyang kita menamakan diri ‘bangsa Jawa’, sebab orang Arab sejak zaman purba menyebut kepulauan kita Jaza’ir al-Jawa (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini, jemaah haji kita masing sering dipanggil ‘Jawa’ oleh orang Arab. “Samathrah, Sundah, Sholibis, kulluh Jawi!” demikian kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah. “Sumatera, Sunda, Sulawesi, semuanya Jawa!”
Sangat menarik apa yang pernah dikemukakan Prof.Dr. Hamka sebagai berikut: Sudah beratus-ratus tahun lebih dahulu sebelum gerakan kebangsaan, orang Islam yang naik haji ke Mekkah, seketika ditanyai siapa nama dan apa bangsa, mereka telah menjawab nama saya si Fulan dan saya bangsa Jawa! Terus datang pertanyaan lagi: Jawa apa? Baru dijawab Jawa Padang, Jawa Sunda, Jawa Bugis, Jawa Banjar, dan suku Jawa sendiri disebut Jawa Meriki. Padahal orang-orang berpendidikan Belanda, kalau datang ke Negeri Belanda, tidaklah dapat memberikan jawaban setegas itu. Sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang ada baru Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan berbagai macam Jong. Marilah kita bersaksi kepada sejarah, mari kita buka kartu sekarang: siapakah yang terlebih dahulu menyadari rasa kebangsaan, kalau bukan bangsa Indonesia yang beragama Islam? (Rubrik “Dari Hati ke Hati”, majalah Pandji Masjarakat, No.4, 20 November 1966).
Sebelum Islam datang ke Indonesia, bahasa Melayu hanya dipakai di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Bahasa Melayu baru tersebar di Nusantara bersamaan dengan penyebaran Islam. Para ulama, di samping memperkenalkan agama baru, juga memperkenalkan bahasa baru sebagai bahasa persatuan. Sebagai huruf persatuan digunakan Huruf Arab-Melayu atau Huruf Jawi, yang dilengkapi tanda-tanda bunyi yang tidak ada dalam huruf Arab aslinya. Huruf `ain diberi tiga titik menjadi nga; huruf nun diberi tiga titik menjadi nya; huruf jim diberi tiga titik menjadi ca; dan huruf kaf diberi satu titik menjadi ga. Alhasil, masyarakat dari Aceh sampai Ternate berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama.
Bahasa Melayu juga dipakai dalam berkomunikasi dengan bangsa asing. Surat Sultan Baabullah dari Ternate kepada raja Portugal tahun 1570, surat Sultan Alauddin Riayat Syah dari Aceh kepada Ratu Elizabeth I di Inggris tahun 1601, dan surat Pangeran Aria Ranamanggala dari Banten kepada Gubernur-Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen tahun 1619, semuanya memakai bahasa Melayu. Itulah sebabnya Jan Huygen van Linschoten, dalam bukunya Itinerario tahun 1595, wanti-wanti berpesan agar orang Eropa yang ingin datang ke Kepulauan Hindia harus tahu bahasa Melayu, sebab di setiap pelabuhan bahasa itu yang dipakai. Kata van Linschoten, seseorang yang tidak berbahasa Melayu tidak akan diterima oleh penduduk Hindia sebagai bagian dari komunitas mereka.
Dari seluruh data dan fakta yang telah kita bahas, jelas sekali betapa besar peranan Islam dalam melahirkan dan memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal abad ke-20 muncul faham nasionalisme yang berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gagasan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan” itu segera memperoleh respons positif dari masyarakat di seluruh Nusantara. Hal itu disebabkan kenyataan bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan nasional memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam berabad-abad sebelumnya di seantero penjuru kepulauan tanah air kita.
Peran Perkembangan Perdagangan Dalam Proses Integrasi Pada Masa Islam
Sudah sejak Zaman dahulu kala,
Bangsa Indonesia sudah emmiliki kemampuan berlayar dengan pengetahuan navigasi
yang tinggi. Bahkan, semenjak kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia yang
Pertama dari daerah Yunan (Perbatasan Vietnam dengan China), mereka sudah
pandai berlayar dengan perahu bercadik sebagai ciri khasnya, berlayar sampai ke
Afrika Timur dan Madagaskar.
Pengetahuan pelayaran dan
perkapalan (pembuatan kapal) diteruskan secara turun-temurun dari masa ke masa
atau dari abad ke abad berikutnya sehingga bangsa Indonesia disebut sebagai
Bangsa Bahari.
Tradisi Bahari yang sudah berabad-abad memberi kemampuan menggunakan angin muson. Sebagai akibatnya, para pelaut Nusantara mengetahui betul bahwa pada setiap bulan Maret sudah dapat berangkat berlayar dari Malaka, Aceh, Palembang, atau dari tempat lain di bagian barat Indonesia, ke arah timur, yaitu ke Jawa (Banten, Jayakarta, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik dsb) atau ke Banjar, Gowa, Nusa Tenggara, sampai dengan Maluku. Sebaliknya mulai bulan Oktober sudah dapat berlayar dari arah timur Indonesia ke arah barat. Demikian juga, apabila akan berdagang ke arah Negeri China, mereka mengetahui betul bahwa sejak bulan Juni sudah dapat berlayar ke arah utara dan pada setiap bulan September sudah dapat berlayar kembali ke Nusantara.
Tradisi Bahari yang sudah berabad-abad memberi kemampuan menggunakan angin muson. Sebagai akibatnya, para pelaut Nusantara mengetahui betul bahwa pada setiap bulan Maret sudah dapat berangkat berlayar dari Malaka, Aceh, Palembang, atau dari tempat lain di bagian barat Indonesia, ke arah timur, yaitu ke Jawa (Banten, Jayakarta, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik dsb) atau ke Banjar, Gowa, Nusa Tenggara, sampai dengan Maluku. Sebaliknya mulai bulan Oktober sudah dapat berlayar dari arah timur Indonesia ke arah barat. Demikian juga, apabila akan berdagang ke arah Negeri China, mereka mengetahui betul bahwa sejak bulan Juni sudah dapat berlayar ke arah utara dan pada setiap bulan September sudah dapat berlayar kembali ke Nusantara.
Kemampuan perlayaran juga didukung kemampuan membuat Kapal. Misalnya di Bugis dan Makassar terkenal dengan kapal Pinisinya, di Jawa yang Paling terkenal adalah kapal Buatan Lasem (timur Semarang), dan di Maluku yang terkenal kapal buatan pulau Kei. Tentu saja daerah lain banyak pula yang mampu membuat kapal bagus dan memenuhi syarat pelayaran Samudera.
Wilayah Nusantara yang sangat luas
memiliki hasil yang beraneka ragam, daerah yang satu dengan yang lainnya saling
membutuhkan sehingga mendorong timbulnya tukar-menukar barang antar daerah dan
memungkinkan berkembangnya perdagangan antar pulau dan antar daerah di
Nusantara. Misalnya, Jawa dengan hasil beras, Maluku dengan hasil
rempah-rempah, sumatera dengan hasil emas dan hasil hutan, Nusa Tenggara dengan
hasil kayu cendana, kalimantan dengan hasil kayu besi (belian), serta Sulawesi
dengan hasil kayu hitam.
Pelayaran dan perdagangan antar pulau dan antar daerah menyebabkan adanya saling mengenal suku-suku bangsa Indonesia, kemudian berkembang menjadi persaudaraan antar pulau dan antar daerah. Hubungan perdagangan tersebut juga berkembang dalam hubungan yang lain, misalnya penyebaran agama Islam dan hubungan perkawinan. Pada zaman penjajahan Belanda, para pedagang Nusantara merasa satu saudara dan mempunyai rasa senasib sepenanggungan akibat monopoli perdagangan Belanda. Rasa persaudaraan dan rasa senasib mendorong proses Integrasi Bangsa Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan antar pulau dan antar daerah menyebabkan adanya saling mengenal suku-suku bangsa Indonesia, kemudian berkembang menjadi persaudaraan antar pulau dan antar daerah. Hubungan perdagangan tersebut juga berkembang dalam hubungan yang lain, misalnya penyebaran agama Islam dan hubungan perkawinan. Pada zaman penjajahan Belanda, para pedagang Nusantara merasa satu saudara dan mempunyai rasa senasib sepenanggungan akibat monopoli perdagangan Belanda. Rasa persaudaraan dan rasa senasib mendorong proses Integrasi Bangsa Indonesia.
Peran Bahasa Dalam Proses Integrasi Pada masa Islam
Suatu kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia
meskipun terdiri atas ratusan suku dan bahasa, tetapi mampu memilki bahasa
persatuan dan bahasa resmi, Yaitu Bahasa Indonesia, yang semula berasal dari
bahasa Melayu. Bahkan jauh sebelum merdeka bangsa Indonesia telah memiliki
kebulatan tekad untuk bahasa persatuan yaitu dalam peristiwa Sumpah Pemuda
(1928).
Sebenarnya pendukung bahasa Jawa lebih banyak
dibandingkan pendukung bahasa melayu yang berfungsi sebagai Lingua Franca
(bahasa Pergaulan). Akan tetapi, daerah persebarannya lebih luas dan kesadaran
lebih mengutamakan terciptanya persatuan bangsa maka bahasa Jawa tidak
dijadikan sebagai bahasa persatuan.
Bahasa melayu semula dipakai masyarakat sekitar selat
Malaka dan sudah tergolong bahasa yang tua. Sejak nenek moyang bangsa Indonesia
datang ke nusantara, mereka sudah menggunakannya meskipun tentu saja bukan
seperti sekarang. Pada zaman Sriwijaya (abad ke-7 M), prasasti menggunakan
bahasa melayu kuno, misalnya prasati kedukan bukit, Talang Tuo, dan Kota Kapur.
Di Jawa Tengah ada prasasti yang menggunakan bahasa Melayu Kuno, yaitu prasasti
Sojomerto (abad ke-7 M). Hal tersebut memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu
zaman dahulu juga pernah menjadi bahasa rrsmi dan sudah dikenal luas.
Sejalan dengan perkembangan perdagangan dan pelayaran Nusantara, selat
Malaka, yang menjadi tempat perdagangan di Nusantara sejak abad ke-15,
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi. Karena dalam komunikasi
perdagangan mereka memerlukan bahasa pengantar, bahasa Melayu menjadi
pilihannya. Demikian juga apabila para pedagang dari Sumatera pergi ke bagian
timur Nusantara, bahasa pengantar yang mereka pilih ialah bahasa Melayu. Dengan
demikian, pemakaian bahasa Melayu semakin luas.
Pertumbuhan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca di Nusantara di samping
didukung para pedagang Nusantara juga di dukung para penyebar agama Islam. Pada
abad ke-19 Belanda sudah mulai mendirikan sekolah untuk kaum pribumi yang
menggunakan bahasa Melayu sehingga makin memperluas penggunaan bahasa Melayu.
Dengan penggunaan bahasa Melayu yang semakin meluas ke seluruh Nusantara, berati bahasa Melayu mampu menjadi sarana timbulnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu mampu menjadi faktor pendukung proses Integrasi Bangsa Indonesia dan menjadi modal utama integrasi bangsa Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia pada abad ke-20.
Dampak migrasi penduduk terhadap proses integrasi nusantara
Sudah sejak zaman dahulu di Nusantara terjadi Migrasi
penduduk yang biasanya dilaksanakan dengan kemauan sendiri dan biaya sendiri
(Swakarsa dan Swadana). Penyebabnya antara lain, karena adanya bencana alam,
masalah ekonomi, politik, dan sebagainya:
1. Bencana alam, misalnya karena bencana gunung berapi meletus, kerajaan Mataram pindah ke Jawa Timur (Zaman Mpu Sendok pada abad ke-10).
2. Masalah ekonomi, misalnya kebiasaan orang Minangkabau atau orang Batak merantau untuk memperoleh perbaikan ekonominya (orang Minang menyebutnya Harajoan). Pada zaman pelaksanaan tanam paksa (cultuur stelsel) banyak orang pindah dari daerahnya karena kesulitan ekonomi.
3. Masalah politik, misalnya pada zaman Majapahit terjadi migrasi ke Malaka yang dipimpin Paramisora karena adanya perang saudara di Majapahit;
Para pelaut Makassar-Bugis dipimpin Karaeng-Galesung, Karaeng Bontomaranu, dan Syekh Yusuf migrasi ke Banten, Jawa Timur serta ke perairan Riau karena tekanan militer Belanda;
Zaman Sultan Agung terjadi migrasi karena kegagalan serangan ke Batavia dan memindahkan penduduk ke Jawa barat untuk persiapan perang melawan Belanda.
4. Kuli kontrak, misalnya pada akhir abad ke-19 Belanda menerapkan politik ekonomi liberal sehingga banyak berdiri perkebunan swasta di Jawa dan Luar Jawa (terutama di Sumatera). Untuk keperluan mencukupi buruh (kuli), diadakan pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera dengan dalih kuli kontrak (sebenarnya pemindahan paksa) terutama di daerah Deli, Lampung dan Kalimantan. Disamping ke daerah perkebunan, juga pemindahan penduduk ke daerah industri, misalnya ke daerah industri gula, teh, kopi dan tembakau yang biasanya hanya antar daerah di Jawa.
Migrasi juga terjadi pada kota-kota besar karena faktor pendidikan. Hal itu dimulai sejak diberlakukannya politik Etis pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Belanda membuka sekolah baik untuk bangsanya sendiri maupun untuk kaum pribumi secara terbatas, misalnya:
1. Tahun 1892 dibuka sekolah Angka Loro.
2. Tahun 1907 dibuka sekolah Desa (Volkschool), kemudian dibuka sekolah Angka Siji.
3. Vervolkschool (lanjutan sekolah dasar).
4. Hollandsch Inlandsch School (HIS) untuk kalangan atas.
5. Mulo (Meen Uit Gebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP.
6. AMS (Alegemeene Meiddle School) setingkat SMA.
7. STOVIA (School Teer Opleiding Van Inlander / Arsten).
8. Normal School (Sekolah Guru).
Sekolah tersebut hanya terdapat di kota besar sehingga terjadilah migrasi penduduk dari desa ke kota atau dari luar jawa ke jawa. Jumlahnya tidak seberapa, tetapi potensial sebagai ajang pertemuan. Dengan bertemunya kaum terpelajar dari berbagai daerah, berbagai pulau, dan berbagai suku, sangat mendorong terjadinya kesadaran bahwa mereka sebangsa dan setanah air. Dengan kata lain, migrasi karena faktor pendidikan mendorong proses integrasi bangsa Indonesia. Mereka itulah yang nanti menjadi motor gerakan kebangsaan menuju terwujudnya integrasi bangsa.
1. Bencana alam, misalnya karena bencana gunung berapi meletus, kerajaan Mataram pindah ke Jawa Timur (Zaman Mpu Sendok pada abad ke-10).
2. Masalah ekonomi, misalnya kebiasaan orang Minangkabau atau orang Batak merantau untuk memperoleh perbaikan ekonominya (orang Minang menyebutnya Harajoan). Pada zaman pelaksanaan tanam paksa (cultuur stelsel) banyak orang pindah dari daerahnya karena kesulitan ekonomi.
3. Masalah politik, misalnya pada zaman Majapahit terjadi migrasi ke Malaka yang dipimpin Paramisora karena adanya perang saudara di Majapahit;
Para pelaut Makassar-Bugis dipimpin Karaeng-Galesung, Karaeng Bontomaranu, dan Syekh Yusuf migrasi ke Banten, Jawa Timur serta ke perairan Riau karena tekanan militer Belanda;
Zaman Sultan Agung terjadi migrasi karena kegagalan serangan ke Batavia dan memindahkan penduduk ke Jawa barat untuk persiapan perang melawan Belanda.
4. Kuli kontrak, misalnya pada akhir abad ke-19 Belanda menerapkan politik ekonomi liberal sehingga banyak berdiri perkebunan swasta di Jawa dan Luar Jawa (terutama di Sumatera). Untuk keperluan mencukupi buruh (kuli), diadakan pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera dengan dalih kuli kontrak (sebenarnya pemindahan paksa) terutama di daerah Deli, Lampung dan Kalimantan. Disamping ke daerah perkebunan, juga pemindahan penduduk ke daerah industri, misalnya ke daerah industri gula, teh, kopi dan tembakau yang biasanya hanya antar daerah di Jawa.
Migrasi juga terjadi pada kota-kota besar karena faktor pendidikan. Hal itu dimulai sejak diberlakukannya politik Etis pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Belanda membuka sekolah baik untuk bangsanya sendiri maupun untuk kaum pribumi secara terbatas, misalnya:
1. Tahun 1892 dibuka sekolah Angka Loro.
2. Tahun 1907 dibuka sekolah Desa (Volkschool), kemudian dibuka sekolah Angka Siji.
3. Vervolkschool (lanjutan sekolah dasar).
4. Hollandsch Inlandsch School (HIS) untuk kalangan atas.
5. Mulo (Meen Uit Gebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP.
6. AMS (Alegemeene Meiddle School) setingkat SMA.
7. STOVIA (School Teer Opleiding Van Inlander / Arsten).
8. Normal School (Sekolah Guru).
Sekolah tersebut hanya terdapat di kota besar sehingga terjadilah migrasi penduduk dari desa ke kota atau dari luar jawa ke jawa. Jumlahnya tidak seberapa, tetapi potensial sebagai ajang pertemuan. Dengan bertemunya kaum terpelajar dari berbagai daerah, berbagai pulau, dan berbagai suku, sangat mendorong terjadinya kesadaran bahwa mereka sebangsa dan setanah air. Dengan kata lain, migrasi karena faktor pendidikan mendorong proses integrasi bangsa Indonesia. Mereka itulah yang nanti menjadi motor gerakan kebangsaan menuju terwujudnya integrasi bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar